Kadang, manusia selalu terlambat untuk menyadari apa yang
mereka punya, apa yang berharga dalam hidup, dan terlalu sering mengabaikan.
Barulah ketika sesuatu itu tidak lagi ada, mereka mencari-cari. Ya, manusia
terlalu sering tidak menghargai sampai sesuatu itu hilang. Apapun itu, barang
maupun orang.
Supaya lebih mudah, kita analogikan dengan sendal jepit.
Kadang kalo kita abis make sandal jepit, suka digeletakin sembarangan,
dianggurin. Keberadaan si sendal jepit cuma sebatas di depan pintu. Gak pernah
sampe masuk ke dalam rumah. Dipake becek-becekan pas ujan, abis itu gak pernah
di cuci. Panas, kepanasan. Hujan, kehujanan. Malam, kedinginan. Tapi si sendal
jepit cuma diam dan tetap bertahan tanpa bergerak 1cm pun. Sedangkan kita,
tetap tidak pernah memikirkan si sendal jepit. Hanya berkata “ahh, kan cuma
sendal jepit”
Tapi pas ilang, baru dicari setengah mati. Karena apa?
Karena tanpa kita sadari sebenarnya si sendal jepit itu berharga. Terlalu
banyak cerita dan kenangan yang dilalui bersama si sendal jepit. Iya, terlalu
banyak. Saking banyaknya kita bahkan lupa. Termasuk lupa menjaga sampai ia
akhirnya hilang.
Dan kalo udah ilang, kita baru mikir sebab hilangnya kenapa.
“perasaan aku taroh dinsini deh. Kok bisa hilang ya?” karena kamu cuma
mengandalkan perasaan. Bukan memastikan.
Hilangnya si sendal jepit pasti punya sebab. Sebab yang
paling mungkin adalah diambil orang lain. Karena orang lain ternyata juga
membutuhkan si sendal jepit. Orang lain melihat bahwa kamu gak pernah
menghargai si sendal jepit, sehingga muncullah pemikiran kalo kamu gak butuh si
sendal jepit. Jadi, walaupun diambil mungkin kamu gak bakal merasa kehilangan.
Sendal jepit. Itu contoh kecil. Bayangkan jika sendal jepit
yang kita bicarakan adalah manusia. Orang yang selalu ada buat kamu, orang
yang perhatian, orang yang sayang kamu. Tapi kamu memperlaukannya sama seperti
sendal jepit. Diabaikan, tidak diperdulikan, tidak dianggap. Sampai akhirnya
ketika ia sudah “hilang”, kamu baru mencari. Apakah si sendal jepit bakal
ditemukan kembali? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Jikapun ditemukan, apakah
pemilik baru si sendal jepit bakal dengan senang hati mengembalikan setelah
perlakuan yang kamu perlihatkan?
Apa susahnya menghubungi, apa susahnya menanyakan kabar, apa
susahnya sekedar bertanya “kamu lagi apa?”. Sama seperti apa susahnya
memasukkan si sendal jepit ke dalam rumah atau mencuci setelah di pake
becek-becekkan? Semua itu gak pernah sulit sama sekali. Semua itu cuma karena
kamu tidak menghargai dan mengganggap bahwa si sendal jepit selalu baik-baik
saja.
Dan kemudian kata-kata penyesalan keluar. “kenapa dulu nggak
aku amanin ya?” “kenapa dulu gak di simpan baik baik ya?”. Kata “kenapa dulu”
demi “kenapa dulu” itu muncul satu persatu sekarang setelah kehilangan. Apa
gunanya lagi kata “kenapa dulu”, kalo seharusnya yang kamu lakukan itu “kenapa
gak dari dulu”. Emang, penyesalan itu selalu datang belakangan, kalo datang
diawal itu namanya pendaftaran.
Dan paragraf terakhir tulisan ini adalah sebuah kesimpulan,
bahwa kita baru belajar menghargai setelah kita kehilangan. Cukup sandal jepit.
Jangan lagi terulang untuk hal-hal yang lain. Termasuk orang-orang di samping
kamu. Apa harus hilang dulu baru kamu sayang?
0 komentar:
Posting Komentar